Pola Asuh Anak: Membanding-bandingkan Anak

Pola Asuh Anak: Membanding-bandingkan Anak
Pola Asuh Anak: Membanding-bandingkan Anak
Perkembangan Balita - Sebagai anak, mereka selalu berharap bahwa orang tuanya akan dapat memperlakukan mereka dengan baik, mendapatkan kasih sayang yang tulus, tidak membandingkan anak yang satu dengan yang lain, tidak pilih kasih dan lain-lain.

Salah satu pola asuh anak yang salah adalah orang tua membandingkan anak yang satu dengan yang lain. Akibatnya anak yang akan menjadi korban perbandingan akan minder karena merasa dirinya tak berarti.  Semua orang tua tentunya tidak ingin anaknya seperti ini, bukan?

Nah, kenapa sih orang tua suka membanding-bandingkan anak? Ini alasannya:
  • Orang tua mengharapkan yang terbaik dari anaknya, tetapi tak mengerti cara yang tepat untuk memotivasi anak supaya kelebihannya terekspos. Nah, dengan membanding-bandingkan, dipikirnya si anak akan termotivasi untuk menjadi seperti atau malah lebih dari orang yang dibandingkan.
  • Hal ini juga menunjukkan orang tua kurang paham akan individual differences bahwa setiap anak itu berbeda, baik fisik, karakter, maupun talentanya. Mereka hanya melihat dari sudut pandangnya sendiri mengenai karakter dan talenta yang baik itu seperti apa. Contoh, si kakak yang berbakat di bidang matematika cenderung dianggap pandai, sedangkan si anak yang mahir main biola tetapi matematikanya biasa-biasa saja akan dianggap bodoh.
Di bawah ini akan saya uraikan tentang DAMPAK YANG DITIMBULKAN PADA ANAK sebagai berikut: 

BAYI : SULIT PERCAYA
Meski bayi belum dapat berbicara, tetapi ia dapat mendengar dan menangkap sinyal emosi orang tuanya saat melakukan perbandingan. Ini akan membuat bayi merasa tak nyaman, dan selanjutnya ia akan sulit mengembangkan rasa percaya terhadap orang tuanya. Menurut Erik H. Erikson, pakar perkembangan psikososial, bayi berada pada tahap basic trust versus mistrust. Maksudnya, bayi tengah belajar mengembangkan rasa percaya kepada orang lain, khususnya orang tua. Jika orang tuanya tak dapat dipercaya, maka nilai yang berkembang pada bayi adalah mistrust. Akibatnya, bayi sulit mempercayai orang lain, dan hal ini akan berdampak pada tahap perkembangan selanjutnya.

BALITA : RAGU DAN MALU
Anak tengah mengembangkan nilai otonomi (kemandirian). Jika nilai ini tidak berhasil dikembangkan, maka yang akan muncul justru rasa ragu dan malu. Inilah yang terjadi apabila si batita selalu dibanding-bandingkan. Ragu karena ia tahu bahwa setiap perilaku atau apa pun yang ia kerjakan akan dibandingkan. Malu apabila hasil perbandingannya adalah negatif. Pada akhirnya ia menjadi takut untuk menampilkan potensi dirinya dan kemandiriannya pun sulit terbentuk.

PRA SEKOLAH : INISIATIF TAK BERKEMBANG 
Anak berada dalam tahap mengembangkan inisiatif. Sehingga, bila hal-hal yang dikerjakannya selalu dibandingkan, ia tak akan mengembangkan inisiatif untuk melakukan sesuatu. Ia tidak tahu harus memulai dengan apa karena sesuatu yang dimulainya telah “dipadamkan” oleh orang tuanya. Ia justru akan merasa bersalah, terutama bila perbandingan itu lebih menyudutkannya ke arah negatif.

USIA 6-8 TAHUN : RENDAH DIRI
Anak berada dalam tahap perkembangan antara industri (karya) dengan rasa rendah diri (inferiority). Jika setiap karya yang ia tampilkan selalu dibandingkan, maka rasa rendah dirinya akan muncul. Selanjutnya orang tua tak dapat mengharapkan berbagai keterampilan dari si anak. Rasa minder telah menghambat segala karyanya.

USIA 9-12 TAHUN : MAKIN MINDER
Tugas perkembangannya masih sama dengan usia 6-8 tahun. Bedanya,kemampuan kognitif anak usia 9-12 tahun sudah semakin berkembang. Sehingga dengan perlakuan orang tua yang gemar membandingkan, anak akan melakukan generalisasi. Akibatnya, meski hanya satu aspek yang dibandingkan, tetapi rasa rendah dirinya akan melebar ke berbagai aspek lainnya. Kreativitas yang harusnya makin berkembang di usia ini, otomatis akan terhambat pula.

Dengan membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lainnya, hal ini akan berdampak pula bagi anak yang dianggap lebih atau menjadi contoh perbandingan, bisa-bisa ia akan over “pede” (percaya diri berlebihan) sehingga menjadi sombong, yang akhirnya dijauhi oleh teman-temannya. Bisa jadi pula,sebaliknya. Kadang-kadang anak yang dianggap lebih justru akan ditekan oleh saudaranya yang dianggap kurang lantaran iri hati dan dendam terhadap saudaranya yang dianggap lebih. Ia tak mungkin memusuhi orang tuanya yang merupakan figur otoritas, sehingga ia mengalihkan kemarahannya terhadap saudaranya itu (dalam psikoanalisis disebut displacement).

Jadi kemungkinan dapat muncul sibling rivalry, dimana si anak yang dianggap kurang justru  akan memusuhi anak yang dianggap lebih. Apalagi jika posisi anak yang dianggap lebih ini adalah si adik, tentu ia akan takut terhadap kakaknya sehingga ia justru semakin tertekan. Pujian dan perbandingan orang tua akhirnya malah tidak membuatnya “pede”.

YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN ORANG TUA:
Kenali potensi masing-masing anak. Untuk membangkitkan motivasi anak agar mengasah potensinya dengan baik, orang tua lebih dulu harus mengenali potensi masing-masing anak, bukan malah membanding-bandingkan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan setiap anak, orang tua jadi paham apa yang harus dikembangkan dari masing-masing anak. Beri pujian dan dorongan bila anak mampu melakukan sesuatu atau melakukan hal-hal yang baik. Sebaliknya,beri tahu yang benar tanpa menghukum jika anak melakukan kesalahan. Dengan demikian anak jadi mengerti apa yang harus dilakukan. Ia pun akan bangga dengan dirinya sendiri bahwa ia memiliki kelebihan yang dapat terlihat oleh ayah ibunya. Tetapi kebanggaannya ini takkan berlebihan karena masih ada kritik-kritik membangun yang diberikan orang tua, sehingga anak sadar bahwa ia belum sepenuhnya sempurna dan masih perlu terus mengembangkan diri.

Nah, para pembaca Perkembangan Balita, semoga informasi Pola Asuh Anak di atas berguna bagi Anda semua....sehingga mampu memberikan pola asuh yang benar pada anak. Semoga berbahagia selalu. Terima kasih.

Comments